Jakarta - Panasnya perdebatan saat anggota BPUPKI merumuskan falsafah dasar negara terekam dalam sejumlah dokumen. Salah satunya buku Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945 karya Muhammad Yamin yang terbit pada 1959, Risalah Sidang BPUPKI yang disusun Sekretariat Negara pada 1998, dan Kesaksian KH Masjkur.
KH Masjkur, anggota BPUPKI yang kemudian menjadi Menteri Agama di masa Presiden Sukarno memberikan kesaksian tersebut dalam wawancara yang kemudian didokumentasikan oleh Arsip Nasional pada 1 Oktober 1988. Andree Feillard memuat wawancara tersebut dalam buku NU vis a vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk, dan Makna terbitan LKiS, Yogyakarta.
Menurut Masjkur, malam hari sebelum Sukarno membacakan dasar negara yang kemudian dinamai Pancasila, terjadi diskusi di rumah Muhammad Yasin. Ketika itu usai sidang pertama BPUPKI hari ketiga pada 31 Mei 1945, KH Masjkur, KH Wahid Hasyim, dan Abdul Kahar Mudzakir menginap di rumah Muhammad Yasin.
Selepas Isya, Sukarno datang ke rumah Yasin. "(Saat Sukarno datang) Kami pun berhenti ngomong omong," kata Masjkur.
"Ada apa?" tanya Sukarno saat masuk ke rumah Yasin.
Menurut Masjkur, sebelum Sukarno datang mereka sepakat ingin Indonesia dibentuk dengan berdasarkan agama Islam. Namun muncul pertanyaan berikutnya adalah bagaimana agar umat Islam bisa membela tanah air, tapi tidak pecah.
"Coba kita tanya Yamin dulu, bagaimana Yamin dulu, tanah Jawa, tanah Indonesia ini," Sukarno melempar pertanyaan ke Yamin.
Menjawab pertanyaan Sukarno, Yamin mengatakan bahwa zaman dulu, orang Jawa punya kebiasaan. Pergi di pinggir sungai, di pohon besar, semedi, menyekar, untuk minta sama Tuhan, dan minta keselamatan.
"Nah ini mencari Tuhan namanya. Jadi orang Indonesia dulu sudah mencari Tuhan. Cuma tidak tahu di mana Tuhan dan siapa Tuhan itu. Pergi di pohon besar, pergi di kayu besar, pergi di batu-batu nyekar, itu mencari Tuhan. Kalau begitu, negara kita dari dulu sudah ketuhanan. Sudah ketuhanan zaman Jawa itu, zaman Jawa itu zaman Ketuhanan. Ketuhanan. Bagaimana Islam? Ketuhanan. Kalau bangsa Indonesia bangsa Ketuhanan. Tulis. Tulis Ketuhanan. Lalu bagaimana selanjutnya bangsa Indonesia?"
Baca juga: Panasnya Sidang BPUPKI Saat Menggali Pancasila
Menurut Yamin, bangsa Indonesia itu satu sama lain begitu rupa. Kalau datang dikasih wedang (minuman). Kalau waktu makan diajak makan. Rasa toleransi begitu tinggi.
"Kalau begitu kata Bung Karno: "Bangsa Indonesia dulu itu bangsa yang perikemanusiaan, satu sama lain suka tolong menolong. Kerja sama, perikemanusiaan," tutur Masjkur.
Wahid Hasyim menambahkan bahwa kemanusiaan itu boleh tapi mesti yang adil kepada siapa pun. Kahar Mudzakkir juga memberikan pendapat. Menurut dia bahwa perikemanusiaan harus adil dan beradab.
Kelima orang itu kemudian sepakat bahwa masyarakat Indonesia gemar bergotong royong, bermusyawarah juga saling membantu jika ada yang kesusahan. Mereka berdiskusi hingga dini hari sampai terjadi adanya lima kesimpulan falsafah dasar negara.
Angka lima merujuk pada rukun Islam yang lima. "Mau saya usulkan Pancasila. Awas kalau ada yang mengacau. Awas!" kata Sukarno.
KH Masjkur, KH Wahid Hasyim, Abdul Kahar Mudzakir dan Muhammad Yasin pun tertawa. Pertemuan mereka pun berakhir untuk salat Subuh.
Di hari berikutnya, 1 Juni 1945 Sukarno membacakan pendapatnya soal dasar negara. Seperti dikutip dari Risalah Sidang BPUPKI, Bung Karno menyampaikan dasar-dasar Negara yakni: Kebangsaan Indonesia, internasionalisme, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial, dan Ketuhanan.
"Saudara-saudara! 'Dasar-dasar Negara' telah saya usulkan. Lima bilangannya. Inikah Panca Dharma? Bukan! Nama Panca Dharma tidak tepat di sini. Dharma berarti kewajiban, sedang kita membicarakan dasar. (...) Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa--namanya ialah Pancasila," kata Sukarno.
(erd/jat)
No comments:
Post a Comment