Jakarta - Masa pemerintahan Presiden dan Wakil Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla sudah berjalan empat tahun. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menilai pemerintah tak bisa sepenuhnya menangani kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Program terkait penuntasan kasus pelanggaran HAM disoroti KontraS berdasarkan tiga dokumen yang menjadi tolak ukur, yakni dokumen program Nawacita, Rencana Aksi HAM, dan Rekomendasi Universal Periodic Review (UPR) .
"Di situ memang tidak seluruhnya komitmen HAM bisa dipenuhi," ujar Koordinator KontraS, Yati Andriyani, di Kantor KontraS, Jl Kramat II, Senen, Jakarta Pusat, Jumat (19/10/2018).
Yati mengatakan Jokowi tak bisa memenuhi tuntutan terkait hak-hak yang menjadi sorotan publik nasional dan internasional, khususnya hak atas kebebasan.
"Khususnya hak kebebasan berkumpul dan berekspresi, seperti kebebasan beragama, hak minoritas, extrajudicial killing (pembunuhan di luar hukum oleh pemerintah), hukuman mati dan lainnya," ucapnya.
Namun, di samping itu Yati menyebut tetap ada program yang dipenuhi, walaupun menurutnya tidak dipenuhi secara utuh.
"Tetapi memang ada yang dipenuhi yaitu hak-hak ekonomi sosial dan budaya tapi itu tidak semua dipenuhi. Kami sampaikan dipenuhi karena lahir regulasi yang berkaitan dengan sosial budaya, seperti aturan adat, reforma agraria, tapi sebetulnya itu belum menjawab perlindungan HAM ditengah masyarakat," katanya.
Hal itu terjadi menurut Yati karena pemerintahan era Jokowi-JK tidak membuat isu HAM menjadi prioritas. Isu itu tertutup dengan pemerintah yang terus mempebaiki pembangunan nasional.
"Isu HAM dikalahkan dengan ambisi pemerintah untuk menggenjot pembangunan infrastruktur," tuturnya.
Yati menjelaskan juga kompromi politik yang terus dilakukan Jokowi untuk menjaga stabilitas politik di periode berikutnya.
"Sehingga ada kompromi yang dilakukan misalnya ada kasus pelanggaran HAM masa lalu, nama-nama yang seharusnya diduga menyalahgunakan pelanggaran HAM justru malah duduk di kabinet kerja," ucapnya.
Dari situ, KontraS meyimpulkan adanya kemunduran dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM. Yati menganggap ada upaya untuk menyelesaikan, namun tidak sesuai dengan kinerja.
"Dalam hal ini seperti Wiranto (Menko Polhukam) diserahkan mandat untuk mencari formula pelanggaran HAM masa lalu. Ini menurut kami adalah kemunduran, jadi alih alih diselesaikan yang ada malah dibawa mundur," katanya.
"Seperti hukuman mati juga di zaman SBY sudah moratorium, sedangkan di masa Jokowi hukuman mati malah sangat diglorifikasi untuk diterapkan terus menerus," lanjut Yati.(dnu/dnu)
No comments:
Post a Comment