Lembaga kajian Para Syndicate merilis hasil analisisnya terhadap tren elektabilitas kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden selama masa kampanye Pilpres 2019. Hasil analisis tersebut diambil dari 12 lembaga survei.
Dari analisis Para Syndicate, hasilnya memperlihatkan, elektabilitas pasangan capres dan cawapres nomor urut 01 Jokowi-Ma’ruf mengalami penurunan. Sedangkan, untuk pasangan capres dan cawapres nomor urut 02 Prabowo-Sandiaga, terus mengalami kenaikan.
Wakil Sekretaris Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma’ruf, Raja Juli Antoni, tidak membantah hasil analisis PARA Syndicate tentang penyebab menurunnya tren elektabilitas Jokowi-Ma’ruf.
PARA Syndicate menyebut turunnya elektabilitas Jokowi-Ma’ruf karena pasangan capres-cawapres nomor urut 01 itu dan tim suksesnya sibuk bermain di genderang lawan.
“Kami sangat sibuk dalam mengklarifikasi berbagai macam gimmick yang biasa dilakukan tim lawan,” ujar Raja ketika dihubungi, Minggu (16/12/2018).
“Mengklarifikasi fitnah dan hoaks tepatnya,” tegasnya.
Menurut dia, pihak lawan dan timsesnya sering melontarkan isu-isu yang dianggapnya tidak benar. Contohnya, isu mengenai kenaikan harga-harga bahan pokok.
Oleh karena itu, tim sukses Jokowi-Ma’ruf mengklarifikasinya agar masyarakat tidak termakan isu itu.
Raja mengatakan, hasil analisis PARA Syndicate akan menjadi masukan bagi TKN Jokowi-Ma’ruf dalam menyusun strategi ke depan.
Selain itu, koordinasi antara tim Jokowi dan tim Ma’ruf Amin juga akan ditingkatkan lagi.
“Pada intinya, ini adalah masukan baik yang akan dipergunakan untuk perbaikan ke depan,” ujar Raja.
“Kami akan rumuskan cara-cara yang lebih efektif untuk meyakinkan pemilih bahwa Pak Jokowi masih menjadi pemimpin terbaik di negeri ini,” tambah dia.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif PARA Syndicate Ari Nurcahyo menilai, menurunnya tren elektabilitas Jokowi-Ma’ruf karena retorika kampanye yang diperlihatkan pasangan nomor urut 01 itu beserta tim suksesnya yang cenderung reaktif terhadap isu yang dilempar pesaingnya.
“Dinamika kampanye cenderung reaktif dan responsif, dan nampak sekali bahwa timses, bahkan Pak Jokowi sendiri sempat hanyut pada genderang yang dimainkan lawan,” ungkap Ari saat merilis hasil perhitungan tersebut di kantor PARA Syndicate, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Jumat (14/12/2018).
Menurut dia, hal itu tercermin dari istilah politisi “sontoloyo” dan politik “genderuwo”, yang sempat dilontarkan Jokowi. Ari berpendapat, kesibukan menangkal isu dari lawannya membuat topik mengenai rencana pembangunan Indonesia lima tahun ke depan terabaikan.
Program Nawacita II dinilai Ari belum digemakan. Faktor lain yang berpengaruh terhadap menurunnya tren elektabilitas adalah strategi kubu Jokowi-Ma’ruf yang disebutkan Ari bersifat monoton dan linear.
Kemudian, peran Ma’ruf sebagai cawapres belum signifikan untuk mendulang suara.
Menurut Ari, pembagian peran untuk menarik suara belum terlihat.
Kesimpulan itu setelah PARA Syndicate menganalisis hasil survei 12 lembaga.
Calon presiden nomor urut 01 Joko Widodo (Jokowi) pun mengakui penurunan elektabiitas tersebut khususnya di Pulau Sumatera yang cenderung turun, meskipun sedikit.
“Kenapa di Sumatera (elektabilitas) kami turun? Termasuk di Jambi, di Riau, ya meskipun sedikit,” ujar Jokowi saat memberikan pengarahan kepada Tim Kampanye Daerah Provinsi Jambi, Minggu (16/12/2018).
“Problemnya adalah harga komoditas itu turun. Harga sawit turun, harga karet turun, dan harga kelapa juga,” lanjut dia.
Kondisi itu menyebabkan petani sawit, karet, dan kelapa menyalahkan pemerintah.
Jokowi pun menegaskan, harga komoditas itu tak bisa diintervensi oleh negara. Harga komoditas itu adalah bagian dari mekanisme harga yang diatur oleh pasar global.
“Pemerintah, kami tidak mungkin mempengaruhi harga global. Ya, karena itu adalah mekanisme pasar,” ujar Jokowi.
Harga sawit misalnya. Jokowi menjelaskan bahwa Uni Eropa melaksanakan banned bagi komoditas sawit Indonesia.
Hal itu disebabkan Uni Eropa sedang mengembangkan minyak dari bunga matahari sebagai pengganti minyak sawit.
“Untuk melindungi bisnis mereka, maka sawit kita diblok. Jadi, ini urusan bisnis mereka,” ujar Jokowi.
Pemerintah sebenarnya berupaya melindungi harga sawit dalam negeri, salah satunya dengan melobi China agar mengimpor lebih banyak sawit Indonesia sebanyak 500.000 ton.
Namun, rupanya kebijakan itu tidak berpengaruh banyak bagi perbaikan harga sawit dunia.
Jokowi menjelaskan, problem pertama adalah produksi sawit dalam negeri yang sangat besar.
Jumlah lahan sawit di Indonesia yakni sebesar 13 juta hektare, dengan produksi sebanyak 42 juta ton per tahunnya.
No comments:
Post a Comment