Politik Identitas Rawan Sebabkan Intoleransi - Stop Fitnah dan Hoax

Breaking

Friday, December 7, 2018

Politik Identitas Rawan Sebabkan Intoleransi


Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Cahyo Pamungkas menyebut, fenomena intoleransi politik baik dalam kehidupan sehari-hari maupun di media sosial sudah mencapai ambang batas yang tidak dapat diterima publik.
Pengaruh politik identitas bahkan bisa menular hingga tingkat elektoral terkecil seperti pemilih RT atau RW yang memicu praktik intoleransi.
Cahyo mengatakan, praktik intoleransi terjadi karena penggunaan politik identitas yang masif di Pilkada Serentak 2018 dan Pilkada DKI Jakarta 2017. Politik identitas akan mengganggu semangat kebangsaan dan kebhinnekaan karena meniru apa yang terjadi di Jakarta sebab sejatinya Pilkada DKI Jakarta menurut dia adalah politik identitas.
“Khawatir akan digunakan di daerah luar Jawa misalnya, karena kan mereka meniru apa yang dilakukan di Jakarta. Terus terang apa yang dilakukan di Jakarta adalah politik identitas,” ungkap Cahyo usai memaparkan penelitiannya tentang “Intoleransi dan Radikalisme di Indonesia” yang digelar di LIPI, Selasa (4/12/2018).
Penelitian yang dilakukan Cahyo bersama timnya yang tergabung dalam Satuan Kerja Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI, memang mengulas tentang meningkatnya intoleransi dan radikalisme berbasis keagamaan serta etnisitas baik yang terjadi di dunia nyata dan maya.
Media sosial memiliki peran yang penting dalam mendorong seseorang untuk bersikap intoleran. Berdasarkan penelitiannya, media sosial digunakan oleh orang yang memiliki tingkat fanatisme tinggi, dukungan terhadap sekularisasi yang rendah, spiritualitas keagamaan yang rendah, perasaan terancam dan ketidakpercayaan pada kelompok lain yang tinggi akan mendorong orang dengan identitas agama dan etnis yang kuat bertindak intoleran dan radikal.
Selain itu, paham transnasional juga menjadi pemicu sikap intoleransi di era keterbukaan informasi yang cepat akibat perkembangan teknologi.
Untuk membendung pengaruh buruk ini hendaknya pemerintah mengarusutamakan agama yang moderat dan toleran. Meski demikian, hal ini tak bisa dilakukan secara terbuka karena Indonesia adalah negara yang demokrasi. Pelarangan kelompok tertentu akan menimbulkan kritikan dari kelompok liberal, sementara kelompok konservatif memang menunggangi kebebasan di alam demokrasi ini.
“Jadi harus perlahan. Kuncinya ada di pemerintah daerah misalnya dengan memberi panggung pemuka agama yang moderat. Selain itu juga perlu penguatan organisasi agama yang sudah ada lebih dulu. Jangan sampai NU dan Muhammadiyah misalnya ikut mobilisasi ke atas, nama masjid di kampungnya kosong dan diambil alih oleh pemahaman lain,” ucap Cahyo.
Sementara itu, Kepala LIPI Laksana Tri Handoko menyebut penelitian ini merupakan isu aktual. Fenomena intoleransi nyata adanya, meski tidak selalu terlihat sehari-hari tapi di dunia virtual sangat nyata. Hal ini justru menimbulkan dampak yang sangat nyata walaupun awalnya berangkat dari barang virtual.
“Perbedaan antar kelompok ini bisa jadi konflik karena adanya relasi mayoritas dan minoritas apakah agama, ras ditambah stereotip negatif dan kesenjangan ekonomi yang rill. Mayoritas merasa terancam oleh minoritas. Apalagi ditambah saat ini sebagai media dimungkinkan ujaran yang memicu,” jelas dia.
Karena itu, masyarakat harus menyadari sejak dini bahaya politik identitas yang dimainkan oleh parpol dan sekelompok orang hanya untuk kepentingan sesaat.
Sebab bingkai persatuan RI tidak pernah mengenal dan membeda-bedakan SARA karena RI adalah bangsa yang plural. Semua pihak terutama masyarakat diharapkan tidak terpengaruh politik identitas maupun paham transnasional agar NKRI tetap berjaya dan kelak menjadi bangsa yang besar.



No comments:

Post a Comment