Jakarta – Koordinator Satgas Anti Diskriminasi Hukum (SADIS) Gunawan, menegaskan, pihaknya menolak kebijakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Indonesia, yang menetapkan Bambang Widjojanto sebagai salah seorang panelis depat Capres-Cawapres 2019.
Alasannya, sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat yang melakukan fungsi pengawasan terhadap berbagai praktek diskriminasi hukum dan pemberantasan korupsi di Indonesia menganggap kredibelitas Bambang Wdjojanto secara moral dan etika tidak layak menjadi panelis acara debat Capres tersebut.
“Kami sudah menyampaikan keberatan mengenai hal ini kepada Ketua KPU, Arief Budiman. Sebab Bambang Widjojanto tidak memiliki kapasitas moral untuk dilibatkan dalam perhelatan negara terkait seremonial tahapan pemilihan Capres-Cawapres 2019, mengingat statusnya masih menjadi tersangka,” kata Gunawan kepada wartawan dalam keterangan tertulisnya yang diterima Beritabuana.co, di Jakarta, Sabtu (29/12).
Menurutnya, Bambang Widjojanto dalam kedudukannya sebagai kuasa hukum Ujang Iskandar, calon bupati Kotawaringin Barat pada tanggal 23 Januari 2015 telah ditetapkan menjadi tersangka oleh Bareskrim Polri, dalam perkara dugaan menyuruh saksi Ratna Mutiara memberi keterangan palsu, pada sidang Mahkamah Konstitusi tahun 2010, terkait sengketa pemilihan kepala daerah.
“Tanggal 25 Mei 2015, berkas perkara atas nama Bambang Widjojanto dinyatakan lengkap/sempurna (P21) oleh Jaksa Penuntut Umum dan telah dilakukan pelimpahan Tahap ke-II pada 18 September 2015 untuk siap disidangkan. Tapi atas desakan dan rekayasa yang dibangun oleh kawan-kawan tersangka yang tergabung dalam beberapa LSM/NGO, Jaksa Agung Republik Indonesia dengan dalih menggunakan hak prerogatif yang diberikan pasal 35 huruf C Undang-Undang nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Agung RI, memutuskan menerbitkan penetapan deponeering atas perkara a quo,” paparnya.
Lanjutnya lagi, keputusan deponeering secara yuridis tidak menghapus status tersangka yang melekat pada diri Bambang Widjojanto hingga ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, yang menyatakan dirinya tidak bersalah dengan masih menyandang status sebagai tersangka. Bambang Widjojanto dipandang tidak memiliki kapasitas secara moral untuk dilibatkan dalam seriominal perhelatan negara, terkait pelaksanaan pemilihan Capres-Cawapres tahun 2019.
Kemudian, Gunawan juga mengungkapkan, Bambang Widjojanto diduga terlibat dalam pidana manipulasi pajak berdasarkan laporan kepada Jaksa Agung RI pada tanggal 30 Oktober 2018, terdapat temuan dugaan Bambang Widjojanto, SH telah melakukan manipulasi pidana pajak, dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) selama menjalankan profesi sebagai pengacara Senior Partner di Widjojanto, Sonhaji & Associates yang merugikan Negara mencapai puluhan miliar rupiah.
“Sebagai pengacara dan owner law firm Widjojanto, Sonhaji dan Associates, Bambang Widjojanto pada tahun 2009-2010 diperkirakan berhasil meraih pendapatan sebesar Rp 400 miliar, dengan asumi secara umum tarif jasa yang harus dibayar semua kliennya rata-rata minimal sebesar Rp 10 miliar, setelah tanda tangan surat kuasa. Sebagai contoh, meskipun seorang korban mafia hukum seperti Jonny Abbas sekalipun, tetap wajib membayar Rp10 miliar kepada Bambang Widjojanto, yang hanya mendampingi dalam persidangan di PN Jakarta Pusat, pada Februari 2011. Jonny Abbas malahan dihukum 1,8 tahun penjara,” bebernya.
Selain itu, masih kata Gunawan, pada tahun 2009-2010 terdapat nama-nama besar lainnya yang pernah menjadi klien Bambang Widjojanto yang rata-rata bahkan memberikan minimal Rp 15 miliar, yaitu Bupati Morotai Rusli Sibua, tersangka dugaan suap 2,9 miliar terhadap mantan Ketua MK Akil Mochtar, Rusli Zaenal, mantan Gubernur Riau, Bupati Tapanuli Tengah, Bupati Kotawaringin Barat, Ujang Iskandar, lembaga LPS yang melahirkan bailout Bank Century, dan terdapat 40 orang lainnya.
“Ini bila dikalikan rata-rata satu orang klien membayar Rp 10 miliar, berarti pendapatan Bambang Widjanjanto, SH selaku Senior Partner di Widjojanto, Sonhaji dan Associates dalam satu tahun (catatan: penelitian hanya memakai data untuk tahun 2009-2010) mencapai Rp 400 miliar. Dari hasil sebanyak itu, bila dihitung secara konservatif, paling tidak untuk diri Bambang Widjojanto, SH pribadi diasumsikan mendapatkan penghasilan sekitar Rp 150 miliar,” ujar Gunawan.
Tidak hanya itu, meskipun memiliki kekayaan ditaksir minimal sekitar Rp 150 miliar, menurut Gunawan, menjelang mengikuti pemilihan Ketua KPK, Bambang Widjojanto, SH ketika mengisi Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) pada tahun 2012, melaporkan dan memberikan keterangan hanya memiliki harta kekayaan sebesar Rp 4,8 miliar.
“Laporan pengisian LHKPN ini dikualifisir sebagai Keterangan Palsu sekaligus terindikasi Bambang Widjojanto melakukan dugaan pidana manipulasi pajak dan TPPU selama menjadi Senior Partner di Widjojanto, Sonhaji dan Associates, yang merugikan keuangan Negara puluhan miliar rupiah,” ujarnya.
Gunawan menambahkan, atas temuan itu SADIS telah menuntut agar Jaksa Agung RI mencabut dan membatalkan kembali keputusan deponeering perkara atas nama tersangka Bambang Widjojanto, serta mengusut atas terjadinya dugaan pidana manipulasi pajak dan TPPU yang terjadi ditubuh “Widjojanto, Sonhaji, & Associates” yang melibatkan Bambang Widjojanto, SH, dengan membentuk Tim Gabungan: Kejagung RI, Dirjen Pajak dan KPK.
“Bambang Widjojanto berstatus sebagai anggota tim gubernur DKI untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP). Dengan statusnya sebagai Anggota Tim Gubernur DKI untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP), Bambang Widjojanto dinilai tidak dapat bersikap netral dan independen dalam kotestasi pemilihan Capres-Cawapres 2019. Laporan ini sudah kami tembusankan ke Presiden, Ketua DPR dan Ketua Bawaslu,” kata Gunawan.
No comments:
Post a Comment