Respon Negatif dari NU, Muhammadiyah dan MUI Terhadap Ijtima Ulama III - Stop Fitnah dan Hoax

Breaking

Saturday, May 4, 2019

Respon Negatif dari NU, Muhammadiyah dan MUI Terhadap Ijtima Ulama III


Anggota Pengurus Pusat Muhammadiyah, Dadang Kahmad, menilai hasil Ijtima Ulama III tak lebih hanya peringatan kepada penyelenggara pemilu agar mereka jujur, transparan, dan terbuka. Namun ia menyarankan sebaiknya jika ada kecurangan dilaporkan saja.

“Kalau memang ada kecurangan dan penyelewengan, ya laporkan. Ada mekanisme hukumnya. Sudah ada koridornya,” kata Dadang saat ditemui di Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (2/5/2019).

Sementara Wasekjen PBNU, Imam Patuduh, mengatakan meski hasil Ijtima Ulama III kemarin harus dihormati dalam konteks demokrasi, namun yang tetap perlu diperhatikan adalah apakah itu sesuai atau tidak dengan norma yang berlaku atau tidak.

“Ketika pendapat itu sudah mengarah kepada sifatnya hal-hal yang provokatif, dan di luar kewajaran, dan di luar hal yang berlaku di Indonesia, maka kita seharusnya menggunakan pendapat-pendapat yang betul-betul sesuai dengan kaidah berbangsa dan bernegara dan aturan hukum yang berlaku,” katanya.

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Kerukunan Umat Beragama, Yusnar Yunus, mengatakan bahwa langkah Ijtima Ulama III tidak tepat karena belum ada keputusan resmi dari penyelenggara pemilu.

“Kalau tidak sepakat dengan keputusan KPU dan Bawaslu ajukan ke MK. Ini kan belum ada keputusan, kemudian membimbing melakukan diskualifikasi. Bagi kami ini tidak tepat, kurang tepat karena harus berdasarkan Undang-Undang,” katanya.
Picu Konflik

Sementara Peneliti politik Islam LIPI, Wasisto Raharjo Jati, mengatakan Ijtima Ulama III tak lebih sebagai politisasi status “ulama” dan agama itu sendiri. Identitas sebenarnya dari orang-orang yang ada di dalam Ijtima Ulama II adalah simpatisan kubu 02, kata Wasis, dan yang mereka lakukan semata agar jagoannya menang di pilpres.

“Argumen yang mereka sampaikan juga irasional,” kata Wasisto dilansir Tirto, Kamis (2/5).

Dugaan politisasi agama sebetulnya sudah muncul sejak tahun lalu, ketika kelompok ini mulai muncul di panggung politik nasional. Ijtima Ulama pertama yang diselenggarakan pada 27 Juli 2018 lalu menghasilkan keputusan politik berupa dukungan kepada Prabowo Subianto sebagai capres dan dua nama (politikus PKS Salim Segaf al-Jufri dan pendakwah Abdul Somad) sebagai cawapres.

Orang-orang yang ada di dalam Ijtima Ulama III adalah simpatisan kubu 02, dan yang mereka lakukan semata agar jagoannya menang di pilpres. Adanya Ijtima Ulama III juga berpotensi memicu konflik sosial di masyarakat.

Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir meengatakan bahwa peran ulama harusnya mempersatukan masyarakat.

Disisi lain Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Zainut Tauhid Sa’adi menyampaikan, banyak pihak yang menanyakan kepada MUI soal hubungan antara Ijtima Ulama III dengan MUI.

Dia menegaskan bahwa MUI tidak memiliki keterkaitan dengan Ijtima Ulama III yang diinisiasi oleh beberapa orang, baik secara program maupun kelembagaan.

“MUI tidak memiliki tanggung jawab langsung maupun tidak langsung terhadap semua proses pelaksanaan maupun hasil keputusan Ijtimak Ulama III,” kata KH Zainut kepada Republika.co.id, Jumat (3/5).

Ia menjelaskan, jika ada pengurus MUI yang mengikuti kegiatan tersebut, maka dapat dipastikan kehadirannya tidak mewakili institusi MUI tetapi atas nama pribadi. Sebab MUI memiliki forum Ijtima Ulama yang dikenal dengan Ijtima Ulama Komisi Fatwa yang diselenggarakan setiap tiga tahun sekali.

Oleh karena itu diimbau agar para ulama mengedepankan dialog serta tak saling klaim mewakili atau merepresentasikan seluruh ulama di Indonesia.

No comments:

Post a Comment