Waspadai Risiko Penularan Covid-19 Selama Mudik Lebaran - Stop Fitnah dan Hoax

Breaking

Thursday, April 28, 2022

Waspadai Risiko Penularan Covid-19 Selama Mudik Lebaran


Dilarang selama dua tahun membuat antusiasme pemudik pada masa Lebaran 2022 ini luar biasa tinggi. Namun, daerah-daerah yang pengendaliannya masih tertinggal justru menjadi tujuan utama para pemudik. Diperlukan kewaspadaan dan kehati-hatian agar situasi pandemi tetap terkendali setelah masa mudik Lebaran usai.

Tingginya antusiasme masyarakat untuk melaksanakan mudik Lebaran ini terlihat dari hasil Survei Pergerakan Masyarakat pada Masa Lebaran 2022 yang diselenggarakan Balitbang Kementerian Perhubungan selama 22-31 Maret 2022.

Berdasarkan jajak pendapat tersebut, lebih dari 31 persen dari total penduduk atau sekitar 85,5 juta orang di Indonesia akan melakukan perjalanan ke luar kota selama masa Lebaran tahun ini.

Angka prediksi ini terbilang cukup fantastis. Pada 2018 dan 2019, jumlah pemudik berada di kisaran 21 juta-23 juta orang. Bahkan, jumlahnya pada 2017 tak sampai 20 juta orang. Tak ayal, jika prediksi dari Kemenhub akurat, jumlah pemudik pada tahun ini akan meningkat hingga empat kali lipat dibandingkan rata-rata jumlah pemudik sebelum pandemi melanda.

Faktor pandemi ini nyatanya juga masih menjadi pertimbangan masyarakat dalam memutuskan untuk mudik atau tidak pada masa Lebaran tahun ini. Terutama soal kebijakan persyaratan perjalanan yang ditetapkan pemerintah.

Hal ini terlihat dari perubahan keinginan untuk mudik setelah diumumkannya pelonggaran kebijakan bepergian oleh Presiden Joko Widodo, Maret lalu. Sebelum ada pengumuman tersebut, hanya sekitar seperlima dari masyarakat (55 juta orang) yang berencana mudik selama masa Lebaran.

Setelah pengumuman tersebut, terdapat lonjakan sebesar 24,4 juta orang yang berencana mudik. Jumlah pemudik semakin bertambah ketika pemerintah mengumumkan vaksinasi penguat sebagai syarat perjalanan selama masa Lebaran 2022.

Perubahan setelah muncul kebijakan pelonggaran dan pengetatan ini menunjukkan dua hal. Pertama, sekitar sepersepuluh masyarakat Indonesia masih merasa bahwa tes antigen dan PCR terasa cukup berat apabila dijadikan syarat untuk bepergian, terutama dalam rangka mudik. Hal ini dapat dimengerti karena untuk keluarga dengan dua anak saja, biaya untuk tes Covid-19 bisa menyentuh angka Rp 1 juta.

Risiko perjalanan

Meskipun terbebani dengan biaya tes, bukan berarti masyarakat juga tidak peduli dengan situasi pandemi. Meningkatnya minat untuk mudik setelah muncul aturan vaksin ketiga sebagai syarat menjadi tanda bahwa publik sebetulnya khawatir dengan risiko tertular Covid-19. Dengan aturan tersebut, masyarakat pun merasa lebih aman selama melakukan perjalanan.

Risiko penularan selama masa perjalanan mudik memang tidak dapat diremehkan. Sebab, moda transportasi umum masih menjadi pilihan utama bagi masyarakat. Pada musim Lebaran 2022, sebanyak 53,4 persen dari pemudik diprediksi akan bepergian menggunakan transportasi umum.

Dibandingkan beberapa tahun lalu, jumlah beban transportasi umum sangat membengkak. Pada Lebaran 2019, penumpang pesawat berada di kisaran 2,1 juta orang. Angka tersebut diperkirakan melonjak lebih dari empat kali lipat tahun ini. Hal yang sama diperkirakan akan terjadi pada bus menjadi moda transportasi umum yang paling banyak diminati masyarakat.

Setidaknya 14 juta atau 18,5 persen dari pemudik akan melakukan perjalanan dengan bus. Setelah itu, sekitar 8,9 juta atau setara 10,4 persen dari pemudik memilih bepergian menggunakan pesawat dan 7,6 juta lainnya (8,9 persen dari pemudik) akan bepergian dengan kereta api.

Meskipun begitu, tidak sedikit masyarakat yang berencana menggunakan kendaraan pribadi. Jika ditotal, terdapat 39,8 juta orang atau sekitar 46,6 persen dari pemudik memilih berkendara sendiri selama mudik.

Dibandingkan kendaraan umum, opsi ini memang cenderung lebih aman dari risiko penularan Covid-19. Sekitar 22,9 juta orang, atau lebih dari seperempat dari pemudik, memilih bepergian menggunakan mobil pribadi. Adapun 16,9 juta lainnya, atau hampir seperlima dari pemudik, menyatakan akan mudik menggunakan motor pribadi.

Meningkatnya beban transportasi umum ini perlu untuk dipikirkan strategi mitigasinya oleh pemerintah. Hal serupa berlaku bagi tempat-tempat peristirahatan yang biasa digunakan masyarakat yang mudik dengan kendaraan pribadi.

Jika tidak diperhitungkan dengan baik, dapat dipastikan masyarakat pun akan berjejalan selama mudik nanti. Risiko penularan pun akan menjadi sangat tinggi apabila hal ini terjadi.

Risiko wilayah tujuan

Risiko penularan dalam perjalanan ini secara otomatis akan meningkatkan risiko penularan di daerah-daerah tujuan mudik. Apalagi, pemerintah memprediksi separuh pemudik baru pulang pada H+4 Lebaran atau 7 Mei 2022. Sementara sebagian besar masyarakat mudik di rentang berminggu sebelum Lebaran. Bahkan, 17 persen di antaranya sudah mudik sebelum H-17 Lebaran.

Hal ini bisa menjadi indikasi bahwa masyarakat akan menghabiskan waktu yang relatif lama di kampung halaman mereka. Artinya, jika ada warga yang terpapar dalam perjalanan, kemungkinan bagi mereka untuk menularkan ke keluarga dan sanak saudara pun tinggi karena telah melewati masa inkubasi virus.

Risiko ini semakin besar mengingat rekam jejak kerja pengendalian pandemi di wilayah tujuan dan daerah asal utama pemudik. Hasil survei Kemenhub menunjukkan, ada lima daerah sebagai tujuan utama, yakni Jawa Tengah dengan prediksi sebanyak 23,5 juta orang (27,5 persen pemudik), Jawa Timur dengan 16,8 juta orang (19,6 persen pemudik), Jawa Barat dengan 14,7 juta orang (17,2 persen dari pemudik), Jabodetabek dengan 5,9 juta pemudik (7 persen), dan Yogyakarta sebagai tujuan mudik 3,9 juta pemudik (4,6 persen).

Sementara itu, beberapa wilayah yang menjadi daerah asal kebanyakan pemudik ialah Jawa Timur dengan prediksi mengalirkan pemudik sebesar 14,6 juta orang atau setara 17,1 persen, Jabodetabek sebesar 14 juta pemudik, Jawa Tengah sebanyak 12,1 juta orang, Jawa Barat sejumlah 9,2 juta pemudik, dan Sumatera Utara sebanyak 4 juta pemudik.

Dari daerah-daerah tersebut, hanya Yogyakarta (87 poin), DKI Jakarta (85 poin), dan Sumatera Utara (84 poin) yang skor pengendalian Covid-19-nya berada di atas rerata nasional di angka 83 poin. Bahkan, Jawa Tengah dan Jawa Timur hanya mencatatkan skor 79 poin, lebih rendah empat poin dari skor nasional.

Lebih detailnya, masih stagnannya pengendalian Covid-19 di beberapa daerah ini berada di sisi manajemen pengobatan. Di Yogyakarta dan Banten, manajemen pengobatan relatif baik dengan skor di angka 42 poin, setara dengan rerata capaian nasional. Namun, daerah seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, DKI Jakarta, dan Jawa Barat mencatatkan skor manajemen pengobatan sebesar 37 poin, 37 poin, 38 poin, dan 40 poin.

Rendahnya skor manajemen pengobatan ini meningkatkan risiko apabila transmisi di wilayah-wilayah tersebut meningkat. Sebab, dengan kasus infeksi baru relatif terkendali, kemampuan fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) untuk menangani pasien Covid-19 belum maksimal.

Parahnya, masih belum maksimalnya kapasitas fasyankes ini telah terjadi paling tidak selama sebulan terakhir. Artinya, pemerintah dan pemerintah daerah tersebut masih belum serius meningkatkan manajemen pengobatan.

Jika sebelumnya relatif tidak ada konsekuensi, ketidakseriusan manajemen pengobatan kali ini bisa berujung fatal. Sedikit saja peningkatan kasus harian bisa terkonversi menjadi peningkatan kematian dalam waktu cepat. Tak ayal, semua wajib untuk terus waspada di tengah kondisi Covid-19 yang mereda dan suasana hari raya yang gempita


No comments:

Post a Comment