Masa
bakti anggota KPU provinsi dan kota/kabupaten yang menjabat sampai 2024 dan
2025 diusulkan berakhir serentak pada 2023 demi penyeragaman masa jabatan KPU
daerah. Usul ini rencananya akan dimasukkan menjadi bagian dari Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Pemilu, yang mulanya disusun untuk
merespons pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB) Papua. "Setelah nanti
sekiranya di dalam Perppu ada aturan itu, maka pengisian jabatan atau seleksi
anggota KPU Provinsi kabupaten/kota akan kita tata secara serentak. Untuk KPU
Provinsi Mei 2023," ujar Ketua KPU RI, Hasyim Asy'ari, di kantor KPU Bali
pada Sabtu (5/11/2022).
Sementara
itu, pengisian anggota KPU kota/kabupaten diusulkan pada Juli 2023. Anggota KPU
daerah yang seharusnya menjabat lebih lama dari itu akan diberikan kompensasi
secara penuh sesuai periode masa jabatan yang seharusnya, dengan nominal total
sekitar Rp 150 miliar. Alasan KPU Menurut Hasyim, penyesuaian masa bakti ini
dilakukan dalam rangka desain keserentakan pemilu mulai 2024 dan ke depannya,
agar tidak menimbulkan kesulitan dalam persiapan dan pelaksanaan pemilu. Sebab,
saat ini, tanggal habis masa jabatan para anggota KPUD sangat bervariasi yang
menyebabkan di beberapa daerah, ada anggota KPU yang masa jabatannya habis mendekati
pemungutan suara. "Itu kan enggak ideal sama sekali. Kami sudah punya
pengalaman mengatasi menghadapi situasi itu," ucapnya. Sesuai ketentuan,
bila usul ini digolkan pemerintah dan DPR, maka seleksi pemilihan akan dimulai
setidaknya pada Pemilihan pada 2023 sebagai titik pijak penyeragaman masa
jabatan KPU daerah diklaim karena 2 hal. Pertama, KPU RI, sebagai pemegang
wewenang pembentukan tim seleksi calon anggota KPU daerah, baru melantik jajaran
komisioner anyar pada April 2022. Kedua, jika penyeragaman dilakukan setelah
Pemilu dan Pilkada 2024, hal itu dianggap tak efisien. "Desain (pemilu)
lima tahunnya masih nanti 2029. Iya, kan? Itu masih jauh. Di tengah-tengah
periode 2024 ke 2029 tidak ada pemilu," kata Hasyim. Ia menampik bahwa
penyeragaman masa jabatan KPU daerah setahun sebelum Pemilu 2024 bakal membawa
unsur politik. Kritik pemborosan dan rawan politisasi Peneliti Network for
Democracy and Electoral Integrity (NETGRIT), Hadar Nafis Gumay, menilai bahwa
pergantian anggota KPU di tingkat provinsi dan kabupaten/kota semestinya
dilakukan serentak setelah pemilu dan pilkada beres. Pergantian pada 2023
dianggap tak solutif karena itu artinya masih terdapat proses seleksi di tengah
tahapan pemilu, yang akan menimbulkan masalah serupa seperti tidak fokusnya
para anggota yang harus ikut tes sekaligus menyelenggarakan tahapan pemilu,
serta potensi gugatan akibat hasil seleksi yang dapat memecah fokus KPU. Negara
pun jadi boros karena mesti menggelontorkan uang kompensasi atas pejabat yang
tidak melakukan kerjanya karena masa jabatannya dipangkas. "Menurut saya,
hilangkan semua beban kerja dan potensi-potensi masalah yang akan timbul sampai
pemilu dan pilkada itu semua tahapannya selesai dan juga ditambahkan beberapa
waktu bagi mereka melakukan evaluasi," kata Hadar ketika dihubungi, Rabu
(9/11/2022). "Jadi, lebih baik fokus disitu saja, diperpanjang saja
mereka. Dengan memperpanjang tidak perlu keluar itu uang kompensasi Rp 150 miliar,
seperti biasa saja mereka mendapatkan honornya," ujar mantan anggota KPU
RI ini.
Peneliti
Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil, juga
mengutarakan hal yang sama. Di sisi lain ia menilai bahwa usul agar anggota KPU
di tingkat provinsi dan kabupaten/kota diganti serentak pada 2023 rawan
politisasi. '"Ini kan bukan rahasia lagi, proses pemilihan komisioner itu
kan ada nuansa politiknya juga, selain juga ada kepentingan penyelenggara
pemilu untuk memilih orang yang tepat dan berintegritas," kata Fadli
kepada wartawan di Hotel Atlet Century, Jakarta, Rabu (9/11/2022). "Ada
kepentingan peserta pemilu juga kan, yang kemudian pasti mereka ingin mencoba
masuk untuk kemudian mempengaruhi proses pengambilan keputusan pemilihan
komisioner itu," lanjutnya. Baca juga: KPU Sosialisasi Teknis Penyerahan
Perbaikan bagi 5 Parpol yang Menang Sengketa Malam Ini Kerawanan politisasi itu
juga dinilai berasal tidak hanya dari calon-calon peserta pemilu perorangan,
melainkan juga partai politik yang boleh jadi berupaya "menitipkan"
kandidat tertentu. Fadli menganggap, kerawanan politis ini juga bisa timbul
dari calon anggota KPU daerah itu sendiri yang, demi terpilih, mungkin
melakukan banyak upaya lobi ke berbagai pihak, termasuk kepada KPU RI.
"Itu sesuatu yang tidak bisa dinafikan menurut saya," ujar Fadli.
"Itu kan melelahkan dan mengganggu juga keseimbangan institusi
penyelenggara di tengah melaksanakan tahapan (pemilu)," lanjutnya.
No comments:
Post a Comment